Anak sekolahan ini memilih ‘kuliah’ di kampus Unhas. Pasalnya ke enam murid ini takut ke sekolah, bukan karena takut akan gurunya, tetapi takut ditagih uang galon Rp.500 (Lima ratus rupiah). Bagaimana saya bisa mendapatkan informasi ini?. Yah, saya iseng wawancara dengan mereka. Mengapa saya wawancarai mereka?. Jawabnya: Karena telah keseringan saya temukan anak-anak ini nongkrong di pelataran parkir kendaraan di kampus saya.
Bapakku tukang batu, ibuku tukang cuci Om |
Saya bergurau dengan ‘anak-anakku’ ini, malah jadi akrab sampai-sampai sekuriti berteriak nan bercanda: “Hey, apa kita bikin sama anak-anak Pak Armand?” (Terjemahan: Ngapain di situ sama anak-anak?). Sayapun probing mereka. Kian polosnya bercerita tentang kondisi sekolahnya. Dibangun di atas makam, gurunya sering rapat, kadang masuk ngajar kadang kosong. Saya pun bertanya enteng: “Kenapa sekolah di sana?”. Seorang anak menjawab: “Karena tidak bayar Om”.
Kian akrab saya, seorang berucap: “Mau diapa itu uang lima ratus rupiah dikumpul setiap hari?”. Wah rupanya anak sekolah pintar juga hitung-hitungan: “Om, kita ada 200 orang, setiap orang bayar uang galon lima ratus rupiah”. Saya tes dia: “Kan cuma lima ratus rupiah Nak!”. “Lima ratus dikali dua ratus, berapa Om?”. Selanjutnya, saya diam-diam. Ia kembali berucap: “Kalau tidak bayar, kita dilarang minum Om”.
Pengamatan alamiah selama ini -yang penulis lakukan- murid bolos sekolah atas inisiatif sendiri, usahanya sendiri untuk ‘madol’, dan tanpa alasan jelas membolos. Namun ke-enam anak ini jelas alasannya. Tak mampu membayar iuran galon (diwajibkan, red). Ke enam murid ini telah menunggak bayar uang galon hingga makin ketakutan ke sekolah. Apakah orang tua mereka tahu atas ‘kelakuan’ anak-anak ini?. Mereka menggeleng ketika saya tanyakan. Kenapa mereka tak memberitahu orangtuanya?. Mereka kembali diam…!
Saya bujuk dan ajak mereka: “Ayok ke sekolah, Om temani. Nanti Om bicara sama gurumu”. Mereka saling memandang, sesaat kemudian mereka bertutur: “Janganmi Om”. “Kenapa?”. “Tidak adami guru di sekolah. Pulangmi semua. Nabawami itu uang galon”.
Saya tak mau memaksa anak-anak ini. Terbetik tanya di kepalaku: “Jangan-jangan anak ini berdusta?”. Sayapun menjawab pertanyaanku sendiri: “Ah tidak mungkin anak-anak ini berbohong. Ekspresinya tak ada tanda-tanda kebohongan”.
* * *
Mungkin saja reportase ini tidak penting buat pembaca, namun buat saya sangat perlu. Kenapa?. Yah, betapa banyak anak-anak yang beruntung dan memiliki orangtua yang ber-ekonomi mapan, namun tak dimanfaatkan baik-baik oleh sang anak. Sedang di sini, anak-anak pengen sekolah namun betapa susahnya meminta uang lima ratus perak ke orangtuanya. Apakah sang orangtua tak mau memberikannya?. Oh bukan, menurut anak-anak ini, orangtuanya berkata: “Kenapa ada istilah bayar uang galon?”. Selebihnya, kata mereka. Kalaupun harus dibayar dimana diambilkan uang setiap hari sedangkan uang makan saja pas-pasan.
Tak mampu bayar uang galon 500 perak |
Apakah kita harus menyalahkan pihak sekolah yang memungut iuran galon?. Ah tergesa-gesa rasanya jika menilai demikian sebab pengakuan anak-anak ‘malang’ ini, guru-guru di sekolahnya hanyalah ‘orang biasa’, orang-orang yang telah lama berbakti dan belum terangkat menjadi guru tetap. Lantas, kita mau salahkan siapa?. Ah bukan salah siapa-siapa. Yang pasti ke enam anak ini, kian sulit memperbaiki masa depannya, kian sulit mengubah nasibnya lebih baik dibanding orangtuanya. Apa ada pembaca ingin memberi solusi terhadap masalah yang ‘ringan’ ini?. Mohon kontribusi ide dan pikiran-pikiran edukatif dari pembaca. Insya Allah besok, saya rencana ke sekolah anak-anak ini. Terima kasih^^^.
sumber : http://edukasi.kompasiana.com/2012/05/14/getirnya-uang-lima-ratus-rupiah/
No comments:
Post a Comment