Friday, 21 December 2012

Kebohongan dan Dosa-Dosa Media Amerika



Apa yang paling parah dari film Hollywood? Tentu saja kebohongannya tentang Amerika. Dari aksi heroik Rambo yang sendirian mampu menghabisi satu pasukan tempur tanpa lecet, sampai kemenangan naif Amerika di setiap film-film perangnya, termasuk perang Vietnam yang nyata-nyata membuktikan kekalahan telak mereka hampir dalam setiap pertempuran.

Belakangan, tak hanya film yang membuat masyarkat dunia sadar telah dininabobokkan oleh kebohongan Amerika. Media dan jurnalisme di sana -yang ironisnya seringkali menjadi kiblat kebebasan media- (termasuk di Indonesia) tenyata tak lebih sebagai aktor pembohong nomor satu di dunia. Contohnya pada kasus Invasi Irak. Investigasi resmi internasional menyimpulkan, Irak tidak memiliki senjata pemusnah massal. Namun, dengan bantuan media korporat Amerika, Bush membohongi publik agar percaya pada kabar bohong tersebut dengan maksud untuk meraih dukungan dan legalitas atas invasi ke Irak.

Banyak fakta penting lainnya yang tidak pernah diberitakan CNN, Fox News, ABC, CNBC, atau BBC. Lebih parah lagi, berita-berita yang berasal dari media tersebut juga diputar ulang oleh media televisi lokal negara-negara lain, termasuk Indonesia. Sebutlah fakta-fakta berikut ini:
   



  • PNAC (Project for a New American Century) menguasai pemerintah Amerika. Mereka memiliki banyak motif yang membuka pintu bagi terjadinya serangan 9/11.
  • Tentara AS tertawa sambil menari-nari mengelilingi tubuh warga sipil Irak yang tewas bersimbah darah.
  • AS menahan bocah 11 tahun di penjara Abu Ghraib. Mantan komandan AS mengatakan berdasarkan investigasi umum, terjadi penganiayaan di penjara itu.
  • Para polisi Inggris yang beroperasi di Basrah menyiksa setidaknya dua orang warga sipil hingga mati dengan menggunakan bor listrik.
  • AS mengambil keuntungan dari merebaknya perdagangan opium di Afghanistan.
  • Seorang tahanan di Guantanamo  pada bulan April 2003 melaporkan kepada FBI bahwa ia dipaksa berdiri telanjang di hadapan seorang interogator wanita.
  • Virus HIV AIDS itu asal mulanya bukan dari simpanse, tapi ciptaan para ilmuwan yang kemudian diselewengkan melalui rekayasa tertentu untuk memusnahkan etnis tertentu.
  • Fluorida yang terkandung dalam pasta gigi untuk jangka panjang membahayakan kesehatan. Tapi, selama 50 tahun lebih, pemerintah dan media AS menganjurkan fluorida sebagai sarana yang aman dan efektif untuk mencegah gigi berlubang.
  • Senjata pemusnah massal milik AS, seperti tabung uranium, jarang sekali disebutkan media Amerika, tak terkecuali dampak jangka panjangnya.

Apakah fakta-fakta tersebut diberitakan media Amerika? Jawabnya tentu saja tidak pernah. Lalu apa yang ditampilkan media di sana? Tak ayal,mereka hanya sibuk melaporkan berita-berita yang mengharumkan nama pemerintah AS sementara kebenaran yang barangkali akan mengotori citra itu disingkirkan. Apakah ini yang disebut jurnalisme? Tentu saja bukan. Ini hanyalah manipulasi citra dan pikiran.

Bagaimana tentang  Indonesia? Serangkaian aksi pengeboman di Indonesia tampaknya lebih merupakan kampanye terselubung intelijen Barat dan media untuk memberi kesan bahwa Indonesia adalah negara teroris. Mereka mengobarkan kemarahan kelompok-kelompok muslim lokal dengan menyebarkan fitnah dan membuat istilah-istilah: Islam Garis keras, Islam Radikal, Islam Puritan, dan sebagainya.

Lewat riset pribadi yang mendalam dan meyakinkan, Jerry D. Gray menemukan banyak fakta mengenai media televisi korporat (terutama di Amerika Serikat). Peristiwa-peristiwa dunia yang kerap kita saksikan lewat berita televisi telah dipelintir, dimanipulasi dengan kebohongan, bahkan tipuan. Media korporat Amerika telah mengalami pergeseran dari sarana yang melaporkan berita aktual menjadi mesin propaganda yang setia mendukung presiden dan pemerintah AS, terlepas kebijakan presiden tersebut keliru maupun benar.

Dalam buku ini, Gray misalnya memaparkan kebobrokan media Amerika yang berprestasi menyelamatkan George W. Bush sehingga lepas dari pelanggaran serius atas undang-undang dan hukum internasional. Tidak pernah ada satu pun investigasi serius yang dilakukan untuk menangani perilaku Bush yang tak kenal hukum walaupun sudah banyak bukti yang memberatkannya.

Sebelum invasi ke Irak, pemerintahan Bush mengklaim bahwa Muhammad Atta (terdakwa pimpinan serangan 11 September) bertemu dengan pejabat intelijen Irak di Praha. Pertemuan itu diduga sebagai bukti adanya kaitan antara Saddam dengan Al-Qaeda. Walaupun presiden Ceko menyatakan bahwa klaim tersebut tidak benar, pejabat pemerintahan Bush tetap bersikeras menjadikan pertemuan tersebut sebagai alasan untuk melancarkan perang. Maka terjadilah perang itu.

Dua tahun kemudian, lebih dari 1.700 pasukan sekutu gugur, puluhan ribu luka-luka. Sementara itu, di pihak Irak terjadi kematian hampir 100 jiwa tiap minggunya. Meski tak ada data resmi, diperkirakan puluhan ribu jiwa telah menjadi korban dan media berita tetap bungkam.

Selain tidak memberikan laporan akurat mengenai jumlah korban, media Amerika juga tidak pernah menginformasikan tentang kerusakan alam, properti serta penderitaan rakyat Irak. Mereka hanya mempublikasikan “kejayaan” serdadu Amerika sambil membiarkan nasib penduduk sipil yang terbunuh hampir setiap harinya. Kebanyakan warga Amerika hidup dalam ilusi bahwa perang tidak banyak menimbulkan pertumpahan darah dan  kerusakan. Perang di mata media AS adalah perjuangan menegakkan demokrasi. Mereka agak sulit menyadari bahwa senjata penghancur, bom, rudal, dan tomahawk mereka telah merenggut jutaan nyawa manusia. Kondisi yang bahkan sangat jauh dari prinsip HAM dan demokrasi–yang konon dijunjung tinggi negara Amerika .

Lewat fakta-fakta meyakinkan yang disajikan buku ini, pembaca diajak menelusuri betapa hebatnya media Amerika memanipulasi pikiran masyarakat melalui “berita” yang yang mereka sajikan. Buku yang di Indonesia diterbitkan dan diterjemahkan oleh UFUK Press ini sangat layak dibaca oleh siap saja, khususnya pemerhati media. Namun demikian, terdapat beberapa hal yang mengurangi kenyamanan membaca  buku ini. Pertama, seperti saya jumpai di beberapa buku UFUK yang lain, spasi dan font yang digunakan terlalu besar dan renggang sehingga mengesankan “asal tebal”. Barangkali strategi ini menjadi cara penerbit memaksimalkan keuntungan. Kedua, buku yang ditulis Gray ini seolah terlalu bersemangat dalam penyajian data-data sehingga sistematika dan elaborasi analisisnya kurang runut dan mendalam. Ketiga, menjadi agak aneh dan terkesan asal comot ketika bagian terakhir buku ini secara utuh memasukkan prinsip 9 elemen jurnalisme dari Kovach dan Rosenstiel sebagai parameter menilai etika media. Ironisnya tanpa menyebutkan sumbernya. Pertanyannnya, apakah ini tambahan dari editor atau versi penulis aslinya?  Seharusnya bahasan etika tersebut bisa diintegrasikan lebih smooth.




Media Amerika, Separah Itukah?

Di luar buku Gray, para wartawan maupun akademisi bidang jurnalistik rata-rata berkomentar buruk tentang media massa di Amerika Serikat (AS). ”Pers Amerika sedang menghadapi krisis kepercayaan dari masyarakatnya, ” tutur Tom Baxter, redaktur di The Atlanta Journal-Constitution. Hal serupa juga diungkapkan wartawan dari Associated Press, Chicago Tribune, San Francisco Chronicle, The Sacramento Bee, Chicago Sun-Times, Athens Banner Herald, Sacramento News & Review, dan The Washington Times (Masha, 2006).

Hal itu juga diakui Robert Dietz dari Committe to Protect Journalists. Bahkan ia menyebut jaringan televisi kabel CNN sebagai pabrik berita. Nada paling minor ditujukan ke jaringan televisi Fox milik Rupert Murdoch. Namun mereka mengakui, dari semua ragam media, media cetak paling bisa dipercaya.

Mengapa krisis ini bisa terjadi? Barangkali ungkapan paling lugas dikemukakan Robert W McChesney. Melalui bukunya yang berjudul The Problem of the Media: US Communication Politics in the Twenty-First Century, ia menilai bahwa pers AS memasuki fase the age of hyper commercialism sehingga jurnalisme sedang berada pada situasi krisis yang luar biasa. Berita telah menjadi komoditas dan profesionalisme wartawan berhadapan dengan kontrol perusahaan. Tentu saja hal itu karena perusahaan selalu melihat sisi keuntungan bisnis, sedangkan pers selalu melihat dari sisi kepentingan publik. Padahal, saat ini, 75 persen pendapatan perusahaan diraup dari iklan. Pers memang dalam dilema.

James T Hamilton, dalam bukunya yang berjudul All the News That’s Fit to Sell: How the Market Transforms Information into News (Semua Berita yang Layak Jual: Peran Pasar dalam Mengubah Informasi Menjadi Berita), menegaskan peran bisnis dalam jurnalistik. Judul buku itu sendiri menyindir motto The New York Times, yaitu All the News That’s Fit to Print (Semua Berita yang Layak Cetak).

Hal itu makin menegaskan tekanan kepentingan bisnis dalam pemberitaan. Karena itu Hamilton mengajukan pertanyaan, siapa sebenarnya yang membunuh berita? Melalui riset yang tekun dengan menyajikan isi koran-koran di AS sejak dulu hingga kini, ia menggambarkan perjalanan pers AS yang dari waktu ke waktu memuat berita yang sesuai tuntutan pasar. Pada akhirnya pasar yang membuat agenda setting media massa.

Jadi, masihkan kita percaya dengan media Amerika?

oleh : Iwan Awaluddin Yusuf, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia, peneliti di Pusat Kajian Media dan Budaya Populer (PKMBP) dan Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2MEDIA)Yogyakarta.


 SUMBER

No comments:

Post a Comment